Minggu, 09 Januari 2011

Menengok Komunitas Muslim di “Kota Dewa-Dewa"

Muslim Indonesia memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Bangkok-Thailand. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya sejumlah masjid dan menggeliatnya Islam yang digawangi oleh orang Indonesia yang menetap di kota itu. Berikut catatan perjalanan Masjidi, koresponden Suara Hidayatullah, yang berkunjung ke negeri gajah putih beberapa waktu lalu dalam rangka undangan pelatihan jurnalistik.



Bangkok, secara harfiah memiliki makna wilayah di sebelah barat sungai. Hal ini mudah dipahami karena kota ini memang dikelilingi oleh sungai Chao Phraya yang memiliki panjang 372 km, dan terbentang luas membelah kota. Uniknya, keberadaan sungai tersebut justru dijadikan potensi alam dan disulap menjadi objek wisata. Kini, mengelilingi kota Bangkok menggunakan perahu wisata menjadi favorit bagi banyak wisatawan mancanegara.

Namun, Bangkok sebenarnya memiliki nama resmi Krung Thep Mahanakhon, yang berarti “kota dewa-dewa.” Dari total penduduk Bangkok yang berjumlah 6,5 juta jiwa, mayoritas beragama Budha yang kental dengan penyembahan dewa-dewa.

Pemandangan ini tampak saat kami mengelilingi kota. Kami banyak menjumpai patung dewa dan sesajen di sudut-sudut kota. Bahkan sebagian besar rumah yang kami temui juga menyediakan hal serupa.

Meski demikian, di tengah mayoritas pemeluk Budha ternyata Islam juga eksis dan menempati posisi agama terbesar kedua, dengan jumlah penduduk kurang dari sepuluh persen. Sebagaimana pengakuan penduduk Muslim di Bangkok yang kami temui, Islam di kota ini mengalami perkembangan pesat. Meningkatnya populasi warga penganut Islam seiring dengan pekerja Muslim dari Malaysia dan Indonesia masuk ke kota ini pada akhir abad ke-19. Mereka membantu kerajaan Thailand untuk membangun beberapa kanal dan sistem perairan di kota Bangkok.

Komunitas Muslim
Di antara Muslim Indonesia yang hijrah ke kota tersebut adalah rombongan dari pulau Jawa berjumlah 60 orang, yang dipimpin oleh almarhum Haji Saleh. Mereka lalu menetap di kawasan, Plencit yang berada di jantung kota Bangkok, dan beristrikan penduduk setempat, serta beranak-pinak hingga generasi ketiga saat ini.

Kami cukup penasaran dengan sejarah Muslim Indonesia yang kemudian berkembang pesat di negeri orang. Berbekal alamat kawasan itu, kami pun menaiki BTS Sky Train, sebuah kereta listrik otomatis yang memiliki lintasan di atas jalan raya, untuk menuju ke kawasan itu.

Setiba di kawasan Soi Polo 5, Plencit, Bangkok, kami mulai merasakan suasana yang cukup berbeda dengan kawasan lainnya. Selain jarang menemukan sesajen di rumah-rumah penduduk, kami juga menyaksikan pakaian yang digunakan beberapa orang, yang hilir-mudik di kawasan itu khas Indonesia lengkap dengan sarung yang digunakannya. Setidaknya itu menjadi salah satu cirri khas Muslim di sana.

Kesan yang berbeda itu semakin jelas saat kami menemukan sebuah bangunan yang bertuliskan Indonesia Mosque di tengah kawasan itu. Rasa penasaran kami pun memuncak. Setelah bertanya ke penduduk setempat tentang sejarah masjid itu, kami akhirnya dipertemukan dengan anak Abu Hasan yang bernama Asiah (60 tahun). Abu Hasan adalah teman dekat almarhum Haji Saleh, yang merupakan pendiri masjid tersebut.

Asiah bercerita dengan bahasa Inggris beraksen Thailand. Masjid itu, kata Asiah, awalnya didirikan di atas tanah wakaf Haji Saleh, yang pembangunannya dibantu oleh almarhum Haji Jumali dan almarhum Abu Hasan pada 1949. Ketiganya bahkan berhasil menggalang dana dari berbagai kalangan Muslim untuk mendirikan masjid tersebut. Mereka putra Indonesia yang berasal dari pulau Jawa, Indonesia.

Namun, ketika kami tanya letak pulau Jawa-nya, Asiah tidak mampu menjawab pasti. Selain ia mengaku tidak pernah berkunjung ke Jawa, ayahnya tidak pernah menceritakan secara detil asal muasalnya. Tak heran bila ia yang juga keturunan Jawa Muslim, tidak fasih berbahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa. “Bisa cakap-cakap sedikit,” kata Asiah terbata-bata saat kami menanyakan kemampuan bahasa Indonesianya.

Masjid yang awalnya hanya berupa bangunan sederhana dari bahan kayu ini direnovasi pada 19 Maret 2005, setelah beberapa bagian bangunan masjid sudah tidak layak pakai. Kini masjid tersebut berlantai tiga, dan mampu menampung 200 jamaah. “Mereka biasanya datang dari sekitar kawasan ini, termasuk staf KBRI, kedutaan Amerika, dan kedutaan Jepang yang lokasinya cukup dekat dengan masjid Indonesia,” ucap Asiah.

Asiah mengakui, ayahnya bersama rombongan merantau ke Bangkok pada saat pecah perang dunia kedua. Saat itu krisis melanda Indonesia, dan kemiskinan ada di mana-mana. Untuk memperbaiki nasib inilah mereka akhirnya berangkat dan menjadi pekerja di kota ini. Sebagian mereka bekerja untuk kerajaan Thailand, dan sebagian lagi memilih menjadi tukang kebun, sopir, dan penjual makanan.

Di tengah pembicaraan yang semakin menarik ini, adzan Ashar berkumandang; bersegeralah kami menyelesaikan pembicaraan dan ingin merasakan shalat berjamaah bersama saudara Muslim di kawasan ini. Satu per satu penduduk yang berasal dari berbagai etnis pun berdatangan. Meskipun tidak seramai masjid-masjid di Indonesia, shalat berjamaah yang diikuti satu shaf ini terbilang cukup khusyuk. Kami merasakan nikmatnya shalat di negeri mayoritas Budha ini.

Masjid Jawa
Pada hari berikutnya, perjalanan menyusuri jejak Muslim Indonesia di kota Bangkok dilanjutkan. Dengan menggunakan BTS Sky Train yang bebas hambatan dan setiap lima menit ada, kami pun bergerak menuju Masjid Jawa yang berada di daerah Sathorn. Kami tidak perlu khawatir kelewatan seperti saat menggunakan KRL di Jakarta, karena setiap berhenti di stasiun tertentu, penumpang diberitahu melalui layar kaca yang tersedia di dalam kereta.

Tak berselang lama, kami sampai di tempat tujuan. Tampak Masjid Jawa yang memiliki arsitektur sederhana ini berdiri kokoh di Jalan Rome Nam Khaeng 5. Masjid yang dilengkapi dengan bedug ini mengingatkan kami di kampung halaman di Jogjakarta. Konon kabarnya, usia bedug ini sama dengan usia masjid yang didirikan hampir seabad silam. Hanya saja, perlengkapan bedug di masjid ini lebih sebagai hiasan karena tidak setiap waktu shalat dibunyikan. Posisinya telah tergantikan oleh pengeras suara yang mampu menjangkau masyarakat Muslim di tempat yang lebih jauh.

Di lingkungan masjid ini juga dilengkapi dengan sebuah madrasah yang menempati bangunan dua lantai. Seperti halnya di pulau Jawa, madrasah di Masjid Jawa ini diperuntukkan untuk belajar agama Islam, dimulai setiap bada’ shalat Isya.

Masjid Jawa juga menyediakan fasilitas kuburan Muslim yang luasnya mencapai 2 hektar. Kabarnya, sejak dibuat hingga saat ini, lebih dari 1000 Muslim yang dikuburkan di tempat itu. Hal ini menunjukkan perkembangan penganut Islam di kawasan Masjid Jawa ini cukup pesat.

Masjid Jawa hanyalah salah satu dari puluhan masjid yang kini telah berdiri di pusat kota Bangkok, dan sekaligus memberikan kontribusi bagi perkembangan agama Islam di negeri yang terkenal dengan kaum gay dan wisata seksnya tersebut. Sayangnya, jumlah masjid ini belum seberapa dibandingkan luas kota Bangkok yang mencapai 1568 km persegi. Walaupun demikian, karya dakwah monumental dari Muslim Indonesia ini patut diacungi jempol, di tengah geliat hedonisme yang semakin menghantui generasi muda bangsa ini. *Masjidi/Suara Hidayatullah, DESEMBER 2010




   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar