Latifah, seorang mucikari di Lokalisasi Dupak Bangunsari, Surabaya terpaksa menutup rumah bordilnya. Pasalnya, sudah beberapa tahun terakhir, tak ada pengunjung.
Latifah menutup bordilnya tahun 2009 lalu. Sejak tahun itu, kata Latifah, memang tak ada pengunjung yang datang. Tidak hanya itu, para pelacur binaanya juga makin pintar. Katanya. mereka selalu pindah-pindah mencari tempat yang ramai.
“Rugi mas. Sekarang sepi, jika memaksa tetap buka, maka rugi,” kata perempuan paruh baya ini kepada hidayatullah.com di rumah bekas bordirnya.
Tidak hanya Latifah, menurutnya, seluruh mucikari yang tinggal di gang 3 itu juga menutup bordilnya.
“Sekarang mereka memilih cari penghasilan dari usaha lain,” katanya. Latifah sendiri sekarang menggantungkan hidupnya dari hasil penyewaan kos miliknya.
Latifah menjadi mucikari sejak tahun 1973. Ketika itu, Bangunsari masih ramai-ramainya, bakan paling besar di Surabaya. Menurutnya, jika ada kapal yang mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, pasti kebanyakan “jajanya” ke Bangunsari.
Dengan sekitar sepuluh pelacur yang dimiliknya, Latifah mampu meraup untung cukup banyak. Tahun 1976, Latifah bisa mendapat Rp 200 ribu perhari. Dari hasil itu, Latifah bisa membeli rumah. Tapi, sejak tahun 1985, pengunjung di Bangunsari mulai berkurang. Puncaknya tahun 2009. Karena tak kuat membayar biaya operasional, maka Latifah menutup bordirnya.
Untuk mengisi sisa umurnya, Latifah mengaku menghabiskannya dengan beribadah sebagai pertobatan dirinya.
“Paling tidak, shalat lima waktu tidak pernah absen,” katanya. Latifah sendiri tidak akan membuka bordilnya lagi.
Menurut Ketua Forum Komunikasi Elemen Masyarakat Surabaya (Forkemas) Sunarto, menurunya jumlah pelacur dan mucikari di Bangunsari karena giatnya dakwah yang dilakukan kepada mereka. Hampir setiap sepekan sekali mereka dikumpulkan di balai RW dan diberikan pencerahan.
“Mungkin karena didakwahi, jadi perlahan-lahan, jumlahnya terus berkurang,” kata Pembatu Dekan IAIN Sunan Ampel ini. *
Foto: tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar