Sabtu, 28 Juli 2007




Rwanda : They are rejecting Catholicisme for Islam






Islam menjadi agama yang paling populer di Rwanda pascatragedi genocide tahun 1994. Jihad dalam terminologi mereka adalah berjuang menumpas demdam dan kebencian serta penyatuan Hutu-Tutsi.
Puluhan pria berpeci hijau bergegas menuju masjid di sudut distrik Ruhengeri, Rwanda. Alquran bersampul warna sama ditenteng di tangan. Sebagian dari mereka, bahkan mungkin lebih, adalah mualaf. Pagi itu, ada topik menarik yang akan diperbincangkan, dan topik ini yang paling mereka sukai, tentang jihad.
Di masjid, ratusan orang sudah berkumpul. Tangan mereka terkepal. Teriakan "Jihad, jihad, jihad!" menggema hingga gerbang masjid. Bagi Muslim Rwanda, tak ada ketakutan meneriakkan jihad. Tidak juga setelah muncul stigma barat terhadap kata yang diasosiasikan dengan terorisme itu. Bahkan, seruan jihad sudah diteriakkan sejak lebih dari lima tahun lalu, tepatnya setelah tragedi genocide yang menewaskan 800 ribu warga minoritas Tutsi dan Hutu moderat.
"Kami memaknai sendiri kata jihad, yaitu perang melawan kebencian antara suku Tutsi dan Hutu, dan perjuangan memulihkan kembali hubungan yang retak,'' ujar Saleh Habimana, pimpinan mufti Rwanda. ''Jihad kami adalah untuk memulai rasa saling menghargai satu sama lain dan hidup bersama sebagai bangsa Rwanda dan sebagai seorang Muslim.''
Genocide memang menjadi mimpi buruk bagi warga Rwanda. Anda yang sempat menonton film Hotel Rwanda yang dibintangi Don Cheadle akan bisa merasakan luka dan trauma yang ditimbulkan akibat peristiwa itu. Ribuan kaum Tutsi, jumlahnya diduga melebihi angka resmi yang 'hanya' 800 ribu jiwa, digiring ke ladang pembantaian suku Hutu yang mayoritas.
Hubungan etnik Hutu dan Tutsi bagai bara dalam sekam sejak puluhan tahun lalu. Beberapa kali terjadi pertikaian, puncaknya terjadi tahun 1994, tepatnya bulan April, setelah Presiden Rwanda saat itu, Juvenal Habyarimana, yang dari suku Hutu, tewas dalam kecelakaan pesawat tanggal 6 April 1994.
Sebuah laporan menyebut, roket sengaja ditembakkan ke pesawat itu, yang membuat pesawat menukik jatuh tak lama setelah lepas landas dari bandara Kigali. Genderang perang pun ditabuh. Selama tiga bulan, April sampai Juni, Rwanda jadi ladang penyembelihan paling kelam dalam sejarah negeri yang berbatasan dengan Sudan, Tanzania, dan Uganda itu.
Dalam kehidupan beragama di Rwanda, muncul fenomena baru pascatragedi memilukan itu. Sejak penumpasan etnik minoritas Tutsi tahun 1994, jumlah penganut Islam memang terus membengkak. Kini, jumlah Muslim di Rwanda meningkat menjadi 14 persen dari 8,2 juta populasi, atau meningkat lebih dari dua kali lipat lebih dari tahun 1995.
Banyak alasan mengapa warga Rwanda berbondong-bondong masuk Islam. Salah satu alasan terbanyak adalah, mereka kecewa pada gereja. Banyak pemimpin Kristen Protestan dan Katolik di kemudian hari terbukti turut andil dalam tragedi berdarah itu. Beberapa kelompok hak azasi manusia mendokumentasikan insiden di mana warga Tutsi 'diselamatkan' ke gereja, untuk kemudian dikirim ke ladang pembantaian kaum Hutu. Dokumen lain menuliskan bagaimana para pendeta Hutu turut membantai warga Tutsi.
Sebaliknya, banyak pemimpin Muslim dan keluarganya yang melindungi warga Tutsi. Mereka menyembunyikannya di dalam bilik rumah mereka dari kejaran kaum Hutu, dengan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri.
Mereka yang diselamatkan keluarga Muslim, kini menjadi 'humas' bagi kaum Muslim. Yang beredar di masyarakat, Muslim melakukan hal itu karena pembunuhan apapun alasannya, sangat dikutuk dalam Islam.
"Saya tahu orang-orang di Amerika menganggap Muslim itu teroris, tapi bagi Rwanda, mereka adalah pejuang kebebasan selama genocide,'' ujar Jean Pierre Sagahutu, 37 tahun, yang ayah dan sembilan anggota keluarga lainnya menjadi korban tragedi itu. Semula, ia penganut Katolik yang taat. ''Saya bersembunyi di gereja, tapi ternyata itu adalah neraka baru bagi saya, sampai sebuah keluarga Muslim mengambil saya. Mereka penyelamat hidup saya.''
Sagahutu mengisahkan, ayahnya adalah pegawai rumah sakit dan bersahabat karib dengan sebuah keluarga Muslim. ''Saya melihat bagaimana mereka berdoa lima kali sehari dan bagaimana mereka melewati hidup. Saya makan bersama mereka. Saat shalat, Hutu dan Tutsi berbaur dalam satu masjid, dan tak ada perbedaan. Saya rindu suasana seperti itu.''
Hal yang sama dijelaskan Aisha Uwimbabazi, 27 tahun, yang menyatakan masuk Islam hampir delapan tahun lalu. ''Jika tak ada Muslim, habis sudah keluarga saya,'' ujar ibu dia anak ini.
Ia tak henti-hentinya mengucap syukur telah terselamatkan dari tragedi yang memilukan itu. Ia juga bersyukur memeluk Islam sekarang. ''Segala dendam dan kebencian, luntur sudah.''
Masjid, katanya, menjadi tempat favorit bagi mualaf Rwanda. Mereka sering kali berkumpul untuk mendiskusikan aneka problem. Hutu dan Tutsi saling berangkulan di tempat ini. Mereka saling menguatkan dan melupakan masa lalu.
Tidak takut dengan tudingan Barat yang menyebut masjid menjadi sarang persemaian bibit-bibit teroris baru? ''Kami sudah cukup dengan problem kami sendiri,'' ujar Nish Imiyimana, imam masjid di Ruhengeri, sekitar about 45 miles barat laut Kigali, ibu kota Rwanda. ''Kami bukan ingin Amerika mengirimkan bomnya di sini. Yang kami ingin justru mereka membangun banyak rumah sakit.''
Setelah tragedi 11 September 2001, iman di seluruh negeri mengkampanyekan makna Islam dan jihad yang sebenarnya. ''Islam artinya damai,'' ujar Imiyimana, ''Melihat track record kaum Muslim sebelumnya di negeri ini, tak sulit bagi kami untuk meyakinkan hal ini.''
Fakta perkembangan Islam yang pesat, seperti ditulis banyak media, membuat pihak gereja di Rwanda gerah. Bahkan, keuskupan di wilayah itu, seperti dilaporkan Washington Post, meminta saran langsung ke Vatikan mengenai langkah antisipasinya.
''Gereja Katolik memang mengalami masalah setelah genocide,'' kata Pastur Jean Bosco Ntagugire, yang mengabdi di gereja di Kigali, seperti dirilis media itu. ''Kepercayaan sudah hancur, dan kami tidak bisa hanya bilang, 'Hai, Kristen datang' begitu saja.''
Untuk memperbaiki citra, mereka melakukan pendekatan kepada komunitas dengan aneka kegiatan sosial, seperti olah raga atau kemah keluarga. Namun, di lahan inipun mereka kalah 'set'. Organisasi Muslim, terutama kaum Muslimah, jauh hari sudah mengadakan aksi serupa. Mereka fokus pada kesejahteraan ibu dan anak.
Penggiat organisasi Muslimah Rwanda juga mempunyai terminologi sendiri mengenai jihad. Bagi kaum wanita, jihad artinya adalah merawat anak dengan baik, termasuk memberikan pendidikan dan hidup yang layak. Islam kian bersinar di bumi Rwanda. ( tri/washington post/chicago tribun/Republika/Subehan MCOL )
Informasi Islam di Rwanda : Rwanda Islamic Media
"If it weren't for the Muslims, my whole family would be dead," said Aisha Uwimbabazi, 27, a convert and mother of two children. "I was very, very thankful for Muslim people during the genocide. I thought about it and I really felt it was right to change."
"I know people in America think Muslims are terrorists, but for Rwandans they were our freedom fighters during the genocide," said Jean Pierre Sagahutu, 37, a Tutsi who converted to Islam from Catholicism after his father and nine other members of his family were slaughtered. "I wanted to hide in a church, but that was the worst place to go. Instead, a Muslim family took me. They saved my life."
Sagahutu said his father had worked at a hospital where he was friendly with a Muslim family. They took Sagahutu in, even though they were Hutus. "I watched them pray five times a day. I ate with them and I saw how they lived," he said. "When they pray, Hutu and Tutsi are in the same mosque. There is no difference. I needed to see that."
Mayor gets 30 years for genocide

Gacumbitsi, former mayor of Rusa-mo, told Tutsis they would be safe in Nyarubuye church but then led militias there to kill those inside
A former Rwandan mayor has been sentenced to 30 years in prison for organising the slaughter of 20,000 people during the 1994 genocide.
Sylvestre Gacumbitsi led the massacre of thousands of people sheltering in Nyarubuye Church, which was one of the worst events in the genocide.
He distributed weapons and urged ethnic Hutus to kill and rape their Tutsi neighbours.
Some 800,000 Tutsis and moderate Hutus were killed in 100 days in 1994.
'Megaphone'
One girl told the court in the Tanzanian town of Arusha that Gacumbitsi, 57, had personally raped her.
According to the official indictment, the former mayor drove around his district "announcing by megaphone that Tutsi women should be raped and sexually degraded."
NYARUBUYE CHURCH MASSACRE


Gitera: A Killer's Story
Flora: A Survivor's Story
Gacumbitsi, former mayor of Rusamo, told Tutsis they would be safe in Nyarubuye church but then led militias there to kill those inside.

After the genocide, he fled to a refugee camp in Tanzania, where he was found by a BBC television crew. He denied all knowledge of the killings.
He said he was not in the area when the massacres were committed. He was arrested in June 2001 in Tanzania and transferred to the International Criminal Tribunal for Rwanda.
Gacumbitsi was found guilty of genocide, extermination and rape. But he was cleared of conspiracy to commit genocide and murder.
He showed no emotion when the sentence was announced, reports Reuters news agency.
The genocide ended when the then rebel Rwanda Patriotic Front came to power.
Eight years after being set up, the ICTR has convicted 21 people of genocide - six of whom are serving their sentences in Mali.
Twenty suspects are on trial, while another 22 are in detention, waiting for their trials to start.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar